Bahkan dia pun menentang balik yaitu jika tudingan Refly tidak terbukti, maka siap-siap si penuding akan mendapat ganjaran setimpal. Mengapa sedemikan beraninya dia menantang tudingan tersebut?
"Saya sudah biasa diseperti ini-kan. Bahkan sejak zaman Orde Baru sudah biasa menghadapi hal seperti ini," kata Akil.
Pernyatan Akil ini disampaikan dalam bincang santai dengan detikcom di ruangannya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, (21/12/2010).
Lantas, mulailah cerita mengalir dari hakim konstitusi yang menamatkan pendidikan hingga SMP di Putussibau, Singkawang, Pontianak, Kalimantan Barat ini. Pengalaman masa kecil hingga dewasa inilah yang mengkristalisasikan pemikirannya terhadap nilai-nilai keadilan dan nasionalisme.
"Saya kecil di daerah terpencil. Berbatasan langsung dengan Malaysia," tambah Akil sambil sesekali memainkan gadgetnya.
Masa kecil yang dihabiskan di daerah terpencil inilah yang menjadikan wawasan kebangsannya menguat. Di desanyalah, sengketa Indonesia-Malaysia terus berkecamuk.
"Waktu SMP kami diwajibkan memakai sepatu. Tapi tidak punya biaya. Akhirnya, kami menyadap getah enau lantas menjualnya. Kami beli sepatu yang bekas dipakai oleh tentara," cerita mantan pengacara yang menginjak usia ke 50 pada Oktober lalu ini.
Sayang, sepatu militer itu pun tak bisa langsung dipakai karena masih ada boatnya setinggi betis. "Kami lalu memotong hingga semata kaki. Lalu sol bawah dikuliti karena masih menancap paku boat. Guru saya hanya tersenyum melihat sepatu kami," tutur Akil.
Usai SMP, orang tuanya nyaris tak bisa membiayai sekolahnya hingga tingkat lebih atas. Apalagi sebagai anak dengan 9 bersaudara, dia harus mencari biaya sendiri guna menyambung biaya pendidikan. Tantangan tak hanya itu, di kampungnya tak ada SMA.
"Ayah saya berpesan, kalau mau merubah nasib, hijrah-lah. Menggunakan kapal boat, akhirnya saya menyusuri sungai Kapuas selama 14 hari, untuk melanjutkan SMA. Jika dibanding kisah dalam novel Laskar Pelangi, tidak ada apa-apanya," kisah Akil.
Usai sampai di Pontianak, lagi-lagi dia harus bergelut dengan permasalahan biaya sekolah yang menghimpit. Sementara cita-cita untuk lulus sekolah dan melanjutkan hingga kuliah terus bergelora jangan sampai berhenti di tengah jalan.
"Untuk biaya sekolah, semua profesi sudah saya lalui. Dari loper koran hingga tukang semir sepatu," kenang pria yang menamatkan pendidikan doktornya di Unpad Bandung ini.
Usahanya tak sia-sia. Dia pun lulus dan bisa melanjutkan kuliah dengan mengambil Fakultas Hukum di Universitas Panca Bhakti, Pontianak. Untuk menyambung keberlangsungan perkuliahan, dia menjadi sopir video shoting. "Waktu itu lagi ramai- ramainya video shooting. Saya jadi tukang sopir mobil books nya. Ditabung untuk hidup sehari- hari, biaya kuliah hingga skripsi," kisah Akil yang selama kuliah aktif dalam kegiatan Resimen Mahasiswa ( Menwa).
"Waktu itu, untuk daftar skripsi sebanyak Rp 75 ribu. Dari upah sopir saya cuma ada tabungan Rp 50 ribu. Sisanya pinjam sana-sini," ujar Akil sambil menghirup rokok dalam-dalam.
Usai menjadi sarjana, mulailah dia terlibat langsung dalam perubahan sosial. Mengawali karier sebagai pengacara di pelosok Kalimantan, masuk dunia politik, hingga kini berkantor di lantai 13 gedung MK. Namun, badai tak kunjung berlalu. Setelah beberapa tahun sebagai penafsir konstitusi, kini hembusan angin kembali menerpanya.
"Kita lihat saja, akhir pusaran ini. Saya sudah terbiasa dengan semua ini," tutup Akil dingin.