1. Profil BRI Syariah
Keluarnya UU
No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang mana di dalamnya diberikan kelonggaran
bagi bank umum untuk membentuk unit usaha syariah atau mendirikan bank umum
syariah, ditanggapi positif oleh pihak PT. BRI (Persero). Sebagai bukti
bahwa BRI mempunyai komitmen terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas
muslim, maka dibentuklah Unit Usaha Syariah BRI[6] (selanjutnya
disebut BRI Syariah) pada tanggal 17 April 2002.
Secara
efektif BRI Syariah Cabang Yogyakarta mulai beroperasi sejak tanggal 30 Januari
2003 dan berkantor di Jl. K.H Ahmad Dahlan No. 89 Notoprajan, Ngampilan,
Yogyakarta dan saat ini telah memiliki satu Kantor Cabang Pembantu (KCP)
Syariah Sleman yang beralamat di Jl. Bhayangkara No. 18 Sleman.[7]
Sampai saat ini, BRI Syariah telah memiliki 27 Kantor Cabang (KC) Syariah dan
17 Kantor Cabang Pembantu (KCP) Syariah.[8] Tugas utama
BRI Syariah adalah merencanakan, mengorganisir, dan mengembangkan usaha
perbankan berdasarkan prinsip syariah dalam rangka meningkatkan bisnis BRI
secara keseluruhan sekaligus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kantor
cabang BRI Syariah secara keseluruhan berdasarkan strategi yang telah
ditetapkan.[9] Unit usaha
syariah BRI berada dibawah binaan direktur bisnis mikro dan ritel.[10]
Tujuan didirikannya unit usaha syariah BRI adalah sebagai
berikut:
a. Untuk memenuhi
kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima konsep
bunga.
b. Mendorong
terciptanya dual banking system di Indonesia yang mengakomodasikan baik
perbankan konvensional dan perbankan syariah yang melahirkan kompetisi yang
sehat dan perilaku bisnis berdasarkan nilai-nilai moral, meningkatkan market
disciplines dan pelayanan bagi masyarakat.
c. Mengurangi
risiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia karena pengembangan
bank syariah sebagai alternatif dari bank konvensional akan memberikan
penyebaran risiko.
- Pelaksanaan
Prinsip-Prinsip GCG di BRI Syariah Cabang Yogyakarta
Dalam Pasal 2 ayat (1) PBI dijelaskan, bahwa Bank wajib
melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam setiap
kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang. Dalam ayat (2) lebih
diperinci lagi tentang implementasinya dalam perbankan antara lain: pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi, kelengkapan dan
pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi
pengendalian intern bank, penerapan
fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal, penerapan
manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern, penyediaan dana kepada
pihak terkait dan penyediaan dana besar, rencana strategis bank dan transparansi
kondisi keuangan dan non keuangan bank.[11] Jadi dalam
pelaksanaan GCG bagi bank umum termasuk didalamnya unit usaha syariah, paling
kurang harus diwujudkan dalam aspek-aspek tersebut di atas.
Prinsip-prinsip di atas, oleh pihak BRI Syariah Cabang
Yogyakarta diterjemahkan mengikuti lima prinsip dasar GCG, yaitu:
1)
Fairness (kewajaran atau keadilan)
Salah satu bentuk penyajian informasi secara wajar kepada
nasabah selaku stakeholders bank yang dilakukan di BRI Syariah Cabang Yogyakarta
adalah pencantuman informasi yang yang wajar kepada nasabah tentang
tentang bagi hasil, equivalent rate, dan pendapatan dari bank.[12] Di sini nasabah sebagai investor haruslah
diberikan informasi yang wajar dengan mengambil contoh bulan lalu, sehingga
nasabah mengetahui dan bisa mempertimbangkan risiko yang mungkin dan akan
dihadapi apabila ia menginvestasikan dananya di BRI Syariah Cabang Yogyakarta.
Dalam prinsip fairness juga dimuat tentang
pembuatan corporate conduct atau kebijakan-kebijakan yang melindungi
korporasi. Dalam PBI dijelaskan bahwa sebuah bank wajib untuk membuat rencana
stategis bank dalam bentuk rencana korporasi dan rencana bisnis. Lebih jauh
dijelaskan yang dimaksud dengan rencana korporasi adalah rencana strategis
jangka panjang dalam rangka mencapai tujuan bank sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Bank Indonesia tentang Bank Umum.[15]
Ketentuan tersebut oleh BRI Syariah diwujudkan dengan
menetapkan visi, misi, sasaran yang bersifat kualitatif dan kuantitatif serta
strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan perusahaan. Visi dari BRI Syariah
Cabang Yogyakarta adalah melaksanakan bisnis perbankan syariah secara kaffah.
Sedangkan misi yang diemban adalah pemberdayaan ekonomi umat dengan
melaksanakan bisnis perbankan syariah yang mengutamakan pelayanan kepada usaha
mikro, kecil, menengah dan memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Adapun yang menjadi sasaran kualitatif BRI Syariah adalah
membuka Kantor Cabang / Kantor Cabang Pembantu di berbagai tempat di wilayah
Indonesia (Th. 2007 – 36 KC & 10 KCP), memberikan pelayanan perbankan
syariah terbaik dengan jaringan terluas, menyiapkan dan mengembangkan sumber
daya insani berlandaskan STAF ( Shiddiq, Tabliqh, Amanah, Fatonah),
menjadi salah satu pelaku bisnis perbankan syariah yang terbesar dalam aset dan
keuntungan. Secara kuantitatif BRI syariah memiliki sasaran antara lain: total
pembiayaan sebesar Rp. 1.107 miliar dan total dana sebesar Rp. 620,75 miliar
pada akhir tahun keenam (2007), Capital Adequacy Ratio (CAR)
minimal tercapai 12 %, Return on Asset (ROA) minimal dapat
mencapai 1,25 % (sama dengan tingkat ROA Corporate BRI) dan laba (2007)
Rp.5.299 juta.
Strategi yang ditempuh BRI Syariah untuk merealisasikan
sasaran-sasaran tersebut adalah dengan pengembangan dan penyempurnaan
ketentuan, pengembangan jaringan kantor cabang BRI Syariah, pengembangan
piranti keras dan lunak, pelaksanaan sosialisasi perbankan syariah ke intern
dan ekstern.
2) Transparancy (keterbukaan
atau kejujuran)
Sebagai perusahaan go-public, BRI syariah
dituntut untuk selalu menyampaikan informasi secara transparan kepada regulator
terkait, yaitu Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) serta mengumumkan kepada
masyarakat mengenai terjadinya peristiwa, informasi dan fakta material
yang sangat mempengaruhi harga atau nilai efek atau keputusan investasi pemodal
secara tepat waktu dan obyektif sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, untuk memperkuat struktur GCG dalam hal
keterbukaan diwujudkan oleh BRI Syariah Cabang Yogyakarta melalui peningkatan
kualitas keterbukaan informasi, antara lain diperbolehkannya nasabah untuk
mengakses semua informasi tentang bank, seperti neraca dan laporan keuangan
yang telah diaudit. Hal-hal yang tidak boleh diketahui oleh pihak luar temasuk
nasabah adalah tentang rahasia-rahasia bank yang jika diketahui oleh pihak luar
akan mengakibatkan terganggunya kegiatan dalam bank tersebut. Selain itu
masyarakat dan para pemegang saham juga dapat memperoleh informasi mengenai
perkembangan perusahaan melalui website www.bri.co.id.
Terkait dengan pelaporan keuangan, pihak BRI Syariah Cabang
Yogyakarta secara berkala melaporkan keadaan keuangannya kepada BRI Pusat. Hal
ini untuk menjamin transparansi keuangan bank. BRI Syariah juga selalu
melaporkan keadaan keuangannya kepada BAPEPAM yang mencakup pelaporan tiga
bulanan, semesteran dan laporan tahunan. Hal ini sudah digariskan oleh BAPEPAM
melalui peraturannya tentang GCG dimana setiap perusahaan yang telah go
public wajib memberikan laporan keuangannya kepada BAPEPAM.[16]
Aspek keterbukaan juga telihat dalam akad yang dilakukan
oleh BRI Syariah Cabang Yogyakarta. Misalnya akad tentang pembiayaan mud}ha>rabah
yang berisi tentang pengertian, jumlah, bentuk dan penggunaan pembiayaan,
penarikan pembiayaan, jangka waktu pembiayaan dan pembayaran bagi hasil,
pengakuan hutang, jaminan, asuransi terhadap barang-barang jaminan/barang yang
dibiayai, asuransi terhadap pembiayaan atau jiwa pihak kedua, syarat-syarat
yang harus diperhatikan pihak kedua, pemeriksaan dan pengawasan, pernyataan,
biaya-biaya lainnya, domisili, dan ketentuan-ketentuan lain.[17] Kesepakatan diwujudkan dengan
penandatanganan akad oleh kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.
Apek keterbukaan juga berkaiatan erat dengan Enterprise
Risk Manajemen (ERM) atau biasa dikenal dengan manajemen risiko. Dalam
mengelola unit bisnis selalu dihadapkan dengan risk and return (risiko
dan pendapatan). Secara garis besar jenis risiko dapat dibedakan atas dua
kelompok besar antara lain;
- Systematic risk (risiko yang
sistematis) yaitu risiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi
tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik, perubahan
kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan situasi pasar, situasi krisis atau
resesi yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum.
- Unsystematic
risk yaitu risiko yang unik yang melekat pada suatu perusahaan
atau bisnis tertentu saja.
Adapun macam-macam risiko yang mungkin dihadapi bank
syariah adalah risiko modal, risiko pembiayaan, risiko likuiditas dan risiko
operasional.[18] Jika kita
mencermati lebih dalam, maka bank syariah merupakan bank yang sarat dengan
risiko karena dalam menjalankan aktivitas bisnisnya banyak berhubungan dengan
produk-produk bank yang mengandung risiko seperti mud}ha>rabah.
Demikian pula risiko yang diakibatkan karena ketidakjujuran dan kecurangan
nasabah dalam melakukan transaksi. Oleh karena itu para pejabat bank syariah
harus dapat mengendalikan risiko seminimal mungkin dalam rangka memperoleh
keuntungan optimum.
Dalam melakukan manajemen risiko di bidang funding (pendanaan),
BRI Syariah Cabang Yogyakarta menerapkan manajemen risiko pendanaan. Hal
ini ditempuh bank dengan cara selalu melakukan seleksi berdasarkan UU Anti
Pencucian Uang. Penerapan Undang-Undang ini dilakukan agar bank jangan sampai
menjadi tempat pencucian uang. Wujud lain manajemen risiko pendanaan adalah
dengan adanya sistem KYC (Know Your Costumers) dengan cara mangetahui
data pribadi nasabah yang meliputi data pekerjaan, data perusahan dan data
keuangan lain. Hal tersebut di atas dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia
Syariah Cabang Yogyakarta untuk meminimalisir risiko yang mungkin akan
dihadapi.
Dalam hal manajemen risiko pembiayaan diwujudkan oleh
bank dengan cara melakukan pembinan (monitoring) dari awal realisasi
pembiayaan sampai dengan pembiayaan itu lunas. Itulah fungsi dilakukannya analisis
5C oleh Analyst Officer (AO) yaitu sebagai salah satu upaya untuk
meminimalisir risiko, khususnya dalam hal pembiayaan.
Manajemen risiko dalam hal likuiditas telah dilakukan
oleh BRI Syariah Cabang Yogyakarta dengan terpenuhinya CAR (Capital Adequacy
Ratio) yaitu dengan membandingkan modal bank dengan Dana Pihak Ketiga
(DPK). Modal minimal adalah harus 1/10 dari jumlah DPK apabila suatu bank
tersebut ingin dikategorikan sebagai bank yang sehat.[19]
Selain itu, aspek keterbukaan juga terkait erat dengan
pengembangan tekhnologi informasi dan sistem manajemen informasi dari sebuah
bank syariah. Sistem tekhnologi informasi dikembangkan untuk mendukung dan
memberikan solusi terhadap perkembangan jaringan dan peningkatan layanan kepada
stakeholders.[20] Tantangan
terbesar pengembangan tekhnologi informasi perbankan syariah adalah
kompleksitas pengembangannya. Kompleksitas ini terkait dengan ciri perbankan
syariah yang masih tergolong sebagai industri muda. Di sisi lain pengembangan
tekhnologi informasi merupakan salah satu keputusan strategis yang membutuhkan
dana investasi besar. Hal ini juga diakui oleh BRI Syariah Cabang Yogyakarta.[21]
Dalam hal tekhnologi informasi BRI Syariah Cabang
Yogyakarta belum bisa dikatakan unggul dan masih memerlukan banyak perbaikan
yang masih harus ditindaklanjuti.[22]
3) Accountability
(akuntabilitas)
Untuk menjunjung tinggi akuntabilitas, diperlukan
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan, sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.[23] Dalam PBI
dijelaskan pengertian dari akuntabilitas adalah kejelasan fungsi dan
pelaksanaan pertanggungjawaban organ bank, sehingga pengelolaannya berjalan
efektif.[24]
Prinsip akuntabilitas di BRI Syariah Cabang Yogyakarta
diwujudkan dengan pembentukan change leader, change agent dan quality
circle.[25] Change leader berfungsi
sebagai motivator dalam mendorong anggota organisasi ke arah implementasi
budaya perusahaan di BRI. Change agent berperan sebagai motivator dan rule
model pelaksanan budaya perusahaan dan sebagai inisiator dan implementator
di unit kerja masing-masing. Change agent adalah anggota organisasi yang
dipilih oleh pekerja di unit kerja masing-masing. Sedangkan quality circle
merupakan wadah partisipasi organisasi untuk tujuan implementasi dan
pengembangan budaya perusahaan sejalan dengan tujuan-tujuan organisasi.[26] Diharapkan dengan adanya change
leader, change agent dan quality circle implementasi budaya
kerja dapat tetap berlangsung dan momentum implementasi budaya kerja BRI selalu
dapat dipertahankan.
BRI Syariah Cabang Yogyakarta juga menerapkan
pengendalian intern yang dikenal dengan istilah WASKAT (pengawasan melekat).
Pengendalian intern ini digunakan untuk semua jenis transaksi. Dalam WASKAT ini
pengendalian diri sendiri merupakan lapisan pertama dan utama dalam diri setiap
karyawan. Selain pengendalian diri, karyawan dalam melaksanakan tugas
sehari-hari tidak terlepas dari prosedur dan aturan main yang telah ditetapkan.
Dalam sistem dan prosedur yang diciptakan, secara tidak disadari oleh setiap
karyawan, dimasukkan unsur-unsur kontrol yang menyatu dengan prosedur tersebut.
Hal ini sudah menjadi sebuah budaya dalam BRI karena bentuk pengendalian intern
tersebut telah melekat pada sistem kerja setiap karyawan.[27]
Wujud dari pengawasan melekat di BRI Syariah Cabang
Yogyakarta antara lain tercermin dalam setiap pembuatan transaksi. Transaksi
apapun harus dilakukan oleh minimal tiga orang pegawai yang masing-masing
mempunyai peran dan fungsi tersendiri, antara lain :
- Maker bertugas untuk
membuat suatu transaksi. Ini adalah bagian pertama yang langsung berhadapan
dengan calon nasabah.
- Checker bertugas untuk
meneliti keabsahan transaksi yang telah dibuat oleh maker.
- Signer bertugas untuk
mengesahkan transaksi yang telah dibuat oleh maker dan telah
diteliti oleh checker.[28]
Jadi pengendalian intern di BRI Syariah Cabang Yogyakarta
dilakukan dengan pengendalian berlapis dan telah menyatu pada sistem kerja
setiap karyawan sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing.
Dalam hal akuntabilitas karyawan, BRI Syariah sangat
memperhatikan kesejahteraan karyawan-karyawannya. Perhatian ini diwujudkan oleh
BRI Syariah dengan memberikan reward (penghargaan) kepada
karyawan-karyawannya. Penghargaan tersebut berwujud antara lain: penghargaan
bagi karyawan dengan masa kerja 15, 20, 25, dan 30 tahun dengan pemberian
insentif khusus, setiap awal tahun ada kenaikan gaji berkala, setiap bulan
Maret diberikan insentif jangka pendek sesuai dengan Sistem Manajemen Kerja
(SMK), dan setiap bulan Juli menerima bonus laba perusahaan yang diberikan
setelah RUPS yang didasarkan pada nilai kerja masing-masing karyawan.
Selain adanya penghargaan-penghargaan tersebut, bank juga
memberikan punishment (hukuman) bagi karyawan yang tidak disiplin. Untuk
kesalahan yang bersifat finansial, karyawan tersebut langsung dipecat. Untuk
kesalahan yang bersifat non-finansial hanya diberi peringatan dari atasan
masing-masing.[29]
Dalam BRI Syariah juga terdapat petunjuk kerja bagi
setiap karyawan yang disebut dengan Sistem Manajemen Kerja (SMK). Dalam SMK ini
diatur tentang tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing pekerja.
Setiap tahun BRI Syariah juga menetapkan Rencana Sistem Kerja (RSK) yang
didalamya terdapat Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) yang disepakati
antara karyawan dengan atasannya masing-masing, baik atasan langsung maupun
atasan tidak langsung. Dengan adanya SMK, RSK, dan RKAP, kejelasan fungsi, struktur,
sistem, dan pertanggungjawaban setiap karyawan tertata dengan baik, sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.[30]
Kinerja dari BRI Syariah Cabang Yogyakarta selalu diaudit
oleh lembaga-lembaga auditor, baik auditor internal, auditor eksternal serta
dewan komisaris (komite audit). Tujuan inti dari auditing dalam perbankan
sebenarnya adalah melindungi kepentingan masyarakat yang menjadi nasabah yang
telah mempercayakan dananya kepada bank untuk memperoleh manfaat dan pembayaran
kembali dari bank sesuai dengan sifat, jenis dan cara pembayaran yang
telah disepakati bersama.[31]
Auditor internal sebagai pengawas internal berfungsi
untuk memastikan bahwa sistem pengendalian di BRI Syariah Cabang Yogyakarta
telah dilaksanakan dan dipatuhi dengan baik. Hal ini dilakukan oleh BRI Pusat
dan DPS. Dilibatkannya auditor eksternal bertujuan untuk menilai kewajaran laporan
keuangan BRI Syariah Cabang Yogyakarta. Sebagai auditor eksternal adalah
akuntan publik, BI, dan BAPEPAM karena BRI adalah perusahaan yang telah go
public. Adapun komite audit berkaitan dengan masalah kualitas laporan
keuangan, pengendalian internal dan kualitas auditor internal.[32]
Bentuk
pengawasan yang dilakukan DPS adalah dengan melakukan inspeksi mendadak di
setiap kantor cabang BRI Syariah termasuk Kantor Cabang Syariah Yogyakarta
untuk melakukan analisis implementasi masalah produk, akad dan pelayanan.
Adapun yang menjadi obyek auditing dari DPS adalah menyangkut masalah kontrak,
akad, kebijakan, produk, transaksi, memorandum, dan akte perjanjian, laporan
keuangan.[33]
Aspek akuntabilitas juga berkait erat dengan
profesionalitas karyawan. Sayangnya dalam hal profesionalitas ini BRI Syariah
Cabang Yogyakarta masih memiliki kekurangan, terbukti dengan tidak adanya karyawan
di BRI Syariah yang memiliki kompetensi dalam bidang hukum Islam. Kebanyakan
karyawan merupakan produk dari ekonomi konvensional.[34]
4) Independency (kemandirian
atau kebebasan)
Independensi diartikan sebagai pengelolaan bank secara
profesional tanpa pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.[35] Prinsip independensi di BRI Syariah
Cabang Yogyakarta diwujudkan antara lain dalam independensi pengambilan
keputusan tentang pembiayaan. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang
diberikan oleh bank sangat rentan dengan risiko, sehingga dalam setiap
pemberian pembiayaan atau kredit di BRI Syariah Cabang Yogyakarta harus
memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan yang sehat dan berdasarkan
prinsip kehati-hatian. Untuk itu sebelum memberikan kredit atau pembiayaan bank
harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek.
Dalam menyalurkan pembiayaan, BRI Syariah Cabang
Yogyakarta memiliki analisis pembiayaan yang digunakan dalam melakukan
penilaian permohonan pembiayaan yang dikenal dengan prinsip lima C atau “the
five C of credit analisys”.[36] Kelima prinsip
tersebut adalah:
- Character (penilaian
watak). Penilaiaan watak atau kepribadian calon nasabah pembiayaan dimaksudkan
untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon nasabah untuk melunasi atau
mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan pihak bank di
kemudian hari.
- Capacity (penilaian
kemampuan). Bank harus meneliti tentang keahlian calon nasabah dalam bidang
usahamya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan
dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon nasabah dalam
jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya kepada
pihak bank. Kalau kemampuan nasabah kecil tentu tidak layak diberikan
pembiayaan dalam skala besar.
- Capital (penilaian
terhadap modal). Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui
kemampuan permodalan calon nasabah dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha
calon nasabah yang bersangkutan.
- Collateral (penilaian
terhadap agunan). Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon nasabah
umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang nilainya minimal sama besar dengan jumlah pembiayaan yang
diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan
tambahan dengan maksud jika calon nasabah tidak dapat melunasi pembiayaan, maka
agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau
pengembalian pembiayaan yang tersisa.
-
Condition of economy (penilaian terhadap prospek usaha
nasabah pembiayaan). Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar
negeri, baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran
dan hasil proyek atau usaha calon nasabah yang dibiayai bank dapat diketahui.