Judul Sang Ksatria
Di Bukit Senlac. Di belakang pasukan adalah hutan Anderida, dan di hadapan mereka adalah lereng-lereng curam menuju Bukit Telham.
Sang Ksatria, bersama dengan anggota pasukan Housecarls lainnya, berdiri tegap membentuk dinding penjaga di barisan paling depan. Perisai bulat mereka saling terjalin.
Tubuh Sang Ksatria lelah. Mereka baru saja usai berperang di Stamford Bridge. Namun kesetiaannya pada Sang Raja memberi kekuatan untuk tetap bertahan. Di depan! Karena mereka adalah yang paling berani.
Sabtu pagi, Duke William dan pasukannya muncul. Orang-orang Normandia, kaum Briton, dan para Flemish-Prancis berbaris bersama William.
Dan pertempuran pun berlangsung. Pertama dengan panah, kemudian dengan terjangan para infanteri.
Lelah membuat Sang Ksatria ingin segera menyelesaikan pertarungan. Kaum Briton yang merangsek maju segera tercabik-cabik oleh kampak Danish mereka, dan pasukan itu mundur. Kesempatan itu diambil dengan segera untuk menerjang. Harapannya, para penyerang bisa segera pergi dari tanah Inggris.
Tapi kenyataan kerap berbeda dengan harapan. Di tanah datar di bawah lereng, pasukan Normandia menyerbu mereka.
Ia tidak ingat tepatnya apa yang terjadi kemudian. Setelah menyaksikan beberapa rekannya tewas, tiba-tiba Sang Ksatria terbungkus dalam cahaya hangat dan menyilaukan.
***
Dr. Henry mengamati tubuh orang itu. Kagum pada betapa sempurnanya.
"Doktor Marco, saya yakin kita telah berhasil," ujarnya dengan nada puas.
"Belum dokter. Belum sepenuhnya," Marco menjawab.
"Apa maksud Anda?"
"Lihat hasil tes ini. Semua tanda-tanda vitalnya tak stabil. Detak jantung, paru-paru, tekanan darah, gelombang otak, semuanya kacau," Marco menjelaskan sambil menatap ke monitor.
"Yah. Perjalanan waktu memang bukan hal yang mudah bagi tubuh," ujar Henry.
"Tapi Dr. Henry. Lihat baik-baik orang itu!"
"Kenapa?"
"Itu bukan Yesus!"
"Hah? Sial! Gagal lagi! Pindahkan dia ke ruang perawatan biasa."
"Lalu apa?"
"Seperti yang lainnya, biarkan mereka mengira ia orang gila!"
***
Bau aneh di udara. Sang Ksatria menggeliat. Tubuhnya pegal-pegal dan kaku-kaku, kepalanya pusing dan berat, pandangannya masih berkunang-kunang.
Reaksi pertamanya setelah matanya bisa melihat kembali tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. ia yakin berada di dalam ruangan, namun semuanya terlihat berbeda. Asing.
Ia turun dari tempat tidur. Memaksa dirinya untuk bergerak. Ia merasa seperti habis tidur di atas batu-batu keras, padahal tempat tidurnya sangat empuk.
Ia bergerak ke luar. Lorong-lorong sempit, cahaya terang. Matanya mungkin belum pulih benar, karena ia merasa segalanya terlalu terang, seperti sedang melihat ke arah matahari.
Ia terus bergerak, tertatih-tatih hingga menemukan manusia lain.
"Pak! Anda mau ke mana?" seseorang bertanya.
Ksatria melihat ke arah orang itu. Buram. Tubuhnya lunglai. Ia membuka mulut, berusaha menjawab, bahkan sebenarnya ia berusaha bertanya. Namun tak ada suara.
Gelap. Ksatria itu jatuh pingsan lagi.